OPINI - Perkembangan politik suatu negara sangat ditentukan oleh sistem politik yang berlaku di dalamnya. Jika sistemnya bagus, maka bagus pula iklim politiknya, begitupun sebaliknya.
Sebagaimana kita tahu bersama bahwa Indonesia pernah berada dibawah cengkeraman rezim Orde Baru yang otoriter-oligarkis selama 32 tahun lamanya. Bisa dikatakan dalam rentang waktu itu kelas menengah kita tidak mendapat ruang gerak yang luas dalam mengembangkan partisipasi politiknya dikarenakan intervensi dan dominasi kekuasaan yang begitu sangat mengekang.
Walhasil, demokrasi kita tidak tumbuh dan berkembang dengan baik sebagaimana mimpi para pendiri bangsa di masa lalu. Namun, “tak ada gading yang tak retak”, demikian kata pepatah lama.
Setelah berkuasa penuh selama 32 tahun lamanya, rezim otoriter Suharto akhirnya tumbang melalui Gerakan Reformasi 1998. Lahirnya perubahan itu kemudian diharapkan dapat membawa angin segar dalam upaya membangun konsolidasi demokrasi di Indonesia setelah terkungkung sekian lama. Namun, alih-alih cita mulia itu terwujud setelah 24 tahun pasca reformasi, yang terjadi justru jauh panggang dari api. Terlebih diakhir periode kedua kepemimpinan Joko Widodo yang semakin memperlihatkan otoritariasme dengan wajah baru.
Saat ini, kontrol kekuasaan bergerak secara massive atas kelompok yang dianggap mengancam kekuasaan. Untungnya, suasana politik sejauh ini masih relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi kita juga masih terus bertumbuh, walaupun dengan gerak yang masih sangat lamban.
Gen Y - Z dan Pentingnya untuk Perubahan Sosial
Pertumbuhan ekonomi sebagai penentu dari gerak maju kesejahteraan masyarakat juga ditentukan oleh semakin bertumbuhnya kelas menengah. Kelas menengah Indonesia lahir dari kelompok masyarakat yang terdidik, utamanya dari kelompok masyarakat Generasi Milenial (Gen Y) dan Generasi Zillenial (Gen Z). Menurut data Bank Dunia, generasi Gen Y-Z adalah populasi terbesar di Indonesia dengan angka mencapai 53%.
Gen Y merupakan rentang usia produktif dalam angkatan kerja kita saat ini, yang selanjutnya akan disusul oleh Gen Z. Dua generasi ini dianggap memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih baik dibanding Gen X dan Gen Baby Boomers yang lahir lebih dulu. Adapun kelebihan dari gen Y-Z ini karena mereka lahir ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang melahiran Dunia Digital, Revolusi Industri 4.0. Dari hasil riset yang dilakukan oleh lembaga Alvara Research Center menunjukkan bahwa, Gen Y menyimpan potensi yang besar dalam bidang entrepreneur (kewirausahaan).
Selain itu, hasil riset ini juga menemukan perilaku Gen Y yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, seperti kecanduan pada internet, gadget, gandrung akan social media, multi-tasking hingga gemar melakukan aktivitas traveling serta memiliki rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba hal-hal baru.
Populasi Gen Y di Indonesia yang terjun dalam dunia entrepreneur saat ini cukup besar. Hanya saja secara agregat dari jumlah populasi pengusaha yang ada masih sangat rendah, yakni 1, 4%. Angka ini diharapkan terus bertumbuh hingga di atas 10%, sehingga dengan begitu kita bisa memenuhi syarat menjadi sebuah negara maju sebagaimana Amerika Serikat yang memiliki persentase pengusaha 14?ri total penduduknya. Disisi lain, harapan untuk perbaikan iklim demokratisasi akan semakin membaik seiring masuknya Gen Y-Z didunia politik.
Gen Y adalah generasi usia produktif saat ini. Sementara dalam kurun waktu 7-10 tahun kedepan, Gen Z juga akan menyusul masuk ke fase angkatan kerja. Hal itu berarti, Gen Y dan Gen Z akan menjadi kelompok masyarakat produktif dengan angka mencapai 53, 74%, separuh dari total penduduk Indonesia. Secara potensi, merekalah bonus demografi yang dimiliki Indonesia yang harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat kedepannya.
Namun dibalik semua itu, kenyataan lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini pulalah yang juga menjadi penyumbang dari tingginya angka pengangguran yang mencapai 10 juta jiwa (4%) dan angka kemiskinan 27, 55 juta jiwa (10, 7%) (BPS, 2020) di Indonesia.
Peran KAHMI Membangun Indonesia Alumni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) generasi Millenial dan Zillenial mestinya diberi ruang lebih luas untuk ikut berpartisifasi menentukan arah dan kemajuan Organisasi, Indonesia dan Ummat. Hadirnya Gen Y-Z di KAHMI tentu saja berpotensi memberi warna yang berbeda, KAHMI diharapkan lebih creative, bisa mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0 dan peduli atas kegiatan ekonomi mikro dilevel grass root.
Kegiatan itu berupa aktivitas entrepreneur dengan mendorong UMKM (usaha mikro kecil menengah) melalui pemaksimalan potensi sumber daya alam (SDA), terutama sektor Pertanian (dalam arti luas) melalui spirit Agropreneur dalam bingkai Integrated Farming.
KAHMI sebagai organisasi sosial yang berbasis keanggotaan alumni HMI, lahir bersamaan dengan KONGRES HMI ke-8 di Solo pada tanggal 17 September 1966. Tujuan mulia berdirinya KAHMI adalah terhimpunnya alumni HMI yang memiliki kualitas insan cita dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT. Kenapa kemudian KAHMI juga menjadi harapan besar, sebab periode ber-HMI sangatlah singkat, sementara be-KAHMI bisa sepanjang hayat. Disinilah ruang para kader untuk berkontribusi dalam memberi manfaat keummatan dan kebanggsaan yang lebih luas.
Dengan cita mulia ini, KAHMI wajib mengambil peran yang lebih besar ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang diharapkan, bukan hanya bersama HMI menjadi mesin kader kepemimpinan nasional dan daerah tetapi juga melakukan reorientasi gerakan melalui upaya pemberdayaan Gen Y – Z, petani dan masyarakat umum melalui penguatan ekonomi mikro.
KAHMI diharapkan mampu melakukan terobosan baru dalam menjalankan roda organisasi. Re-orientasi managemen kepemimpinan harus mengarah setidaknya pada 2 hal, yakni penguatan internal dan penguatan ekternal organisasi. Penguatan internal harus menitikberatkan pada, pertama bagaimana KAHMI hadir dan memberi support bagi proses kekaderan yang dilakukan oleh HMI agar bisa menjamin kualitas dan kuantitas kader yang dilahirkan sehingga menjadi modal besar dalam melahikan para Sarjana, Cendekia, Entreprenur dan Calon Pemimpin Bangsa. Kedua adalah bagaimana kemudian KAHMI memiliki Bank Data Alumni (BDA) (tentu bersinergi dengan HMI disemua jenjang) memanfaatkan teknologi digital.
Memiliki BDA ini menjadi sangat penting dalam menjalankan garis perjuangan, KAHMI wajib ikut mendorong, membesarkan kader dan sesama kader harus saling menguatkan. Sedangkan penguatan eksternal organisasi diharapkan KAHMI hadir dalam kegiatan ekonomi mikro, termasuk KAHMI harus melahirkan lembaga ekonomi berupa Koperasi KAHMI (Koperasi Hijau Hitam) yang bisa menjadi organisasi laba yang akan menjadi sumber keuangan KAHMI yang bertumpu pada potensi sumber daya pertanian kita melalui Agropreneur, selain itu sudah saatnya MW KAHMI Sulawesi Selatan memiliki Sekretariat Permanen dan Gedung Insan Cita yang akan berfungi ganda, disisi yang lain bisa dikomersialkan untuk kegiatan masyakarat dan ummat seperti pesta pernikahan, pengajian, wisuda dan lainnya dan disisi yang lain juga bisa menjadi tempat bagi HMI melakukan berbagai pengkaderan dengan biaya gratis. KAHMI harus memiliki sumber keuangan sendiri, KAHMI harus mandiri secara ekonomi.
Transisi Ekonomi Indonesia Konsoilidasi Kelas Menengah untuk Penguatan Demokrasi Ekonomi Bangsa menjadi tema Muswil X Majelis Wilayah KAHMI Sulawesi Selatan yang sangat relevan dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Kelompok masyarakat Indonesia menurut Bank Dunia masih terbagi atas 5 kelompok kesejahteraan yakni miskin, rentan, menuju kelas menengah, menengah dan kelas atas.
Dari data Bank Dunia 2016 (estimasi penduduk Indonesia sebesar 261 juta jiwa) dengan persentase masing-masing segment sebagai berikut, kelas miskin 10, 7% (28 juta jiwa), kelas rentan 23, 6% (61, 6 juta jiwa), menuju kelas menengah 44% (114, 7 juta jiwa), kelas menengah 20, 5 (53, 6 juta jiwa) dan kelas atas hanya 1, 2% (3, 1 juta jiwa), maka kita harus ikut mendorong persentase kelas Menuju Kelas Menengah untuk menuju Kelas Menengah. Sebab jika ini berhasil, Indonesia akan melalui masa transisi ekonomi secara soft menuju negara maju dan sejahtera.
Baca juga:
Bahtsul Masail dan Kiai Zaini Mun'im
|
Kelas Menengah atau Middle Class merupakan kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran per bulan berkisar Rp.1, 2 juta hingga Rp. Rp.6 juta yang saat ini jumlahnya mencapai 20, 5% (53, 6 juta jiwa). Namun 3 kelas pertama yakni miskin, rentan dan menuju kelas menengah menurut hemat penulis masih masuk dalam kategori masyarakat pra-sejahtera alias miskin.
Kenapa tidak kelompok masyarakat ini memiliki pengeluaran perbulan sebagai berikut, kelas miskin dibawah Rp. 354 ribu/bulan, kelas rentan hanya Rp. 354 ribu – Rp. 532 ribu perbulan dan kelas menuju kelas menengah Rp. 532 ribu - Rp. 1, 2 juta perbulan. Dengan kondisi perekonomian saat ini masyarakat yang berpenghasilan dibawah Rp. 1, 3 juta perbulan saja masih mengalami kehidupan ekonomis yang sulit, apalagi penghasilan dibawahnya.
Ini artinya, angka jumlah masyarakat miskin di Indonesia masih sangat tinggi, ini bisa dilihat bila angkat 3 kelas kesejahteraan ini disatukan, menyedihkan!. Angkanya mencapai 78, 3% (204, 3 juta jiwa). Konsoilidasi kelas menengah ini yang didalamnya didominasi Generasi Millennial menjadi sangat penting untuk mendorong peningkatan taraf hidup berbangsa dan bernegara.
Diharapkan kelompok ini menjadi lokomotif perubahan sosial menuju masyakat adil makmur yang mana HMI dan KAHMI diharapkan menjadi salah satu motor penggeraknya.
Indonesia dan Sulawesi Selatan adalah sebuah entitas geografis yang dikategorikan sebagai zona agraris, yakni sebuah negara dan daerah (Sulsel, red) yang memiliki populasi penduduk terbesar yang berperan sebagai petani (on farm dan off farm). Sektor Pertanian (Pertanian Pangan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kelautan) dapat menyelamatkan Indonesia, ini jika diurus dengan baik. Sulsel sebagai provinsi agraris tentunya ini sebagai credit point yang baik karena Sulawesi Selatan akan menjadi Provinsi Produsen, bukan hanya untuk Indonesia tetapi untuk dunia. Sektor Pertanian mestinya menjadi leading sektor pembangunan. Pertanian untuk Indonesia
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Penulis: Bahtiar Manadjeng
Alumni HMI, Area Manager PT. Syngenta Seed Indonesia Wilayah Sulawesi – Kalimantan dan Pelaku Agroprenur